Selasa, 18 Maret 2014

Hari Arsitektur Nasional

Haiiii ^^, selamat datang hari ini adalah 18 Maret 2013 yang merupakan hari Arsitektur Nasional kali ini saya akan membahas mengenai arsitektur dan perkembangannya di Indonesia.




Apa itu teknik Arsitektur ?

Teknik Arsitektur merupakan perpaduan antara seni dan teknik bangunan yang di dalamnya termasuk perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekoratif yang mempelajari bentuk fisik ruang buatan sebagai tempat bagi manusia yang berhubungan dengan segala kompleksitas kebutuhan kehidupannya, baik individu maupun kelompok. Arsitektur tidak hanya terbatas pada bangunan saja namun meliputi interior, landscape (ekterior), kawasan dan lebih luas lagi akan mempelajari tentang perencanaan kota.

Apa yang Dipelajari di Teknik Arsitektur ?

Dalam Teknik Arsitektur, para calon arsitek diajarkan untuk mendesain obyek pembangunan berskala luas secara lengkap dan menyeluruh mulai dari lingkungan terkecil sampai kepada tata ruang perkotaan. Yang dipelajari dalam teknik arsitektur bukan hanya sekedar belajar menggambar. Namun juga dibutuhkan ide yang kreatif, kepedulian terhadap lingkungan, dan pengetahuan yang luas tentang banyak hal misalnya teknologi rancang bangun, ilmu struktur, teknologi bahan, industri, dan peralatan apa saja yang diperlukan agar bangunan dapt berfungsi dengan baik sehingga dapat tercipta suatu bangunan yang bagus dan nyaman, serta ilmu sosial dan ekonomi.

Perkembangan arsitektur modern

1. PERIODE I (1900 – 1929)
Mulai tahun 1890-an sampai dengan 1930-an, terjadi sejumlah pertentangan dalam dunia Arsitektur yang ditunjukkan melalui munculnya berbagai eksperimen yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, Eksperimen tersebut, diungkapkan sebagai sebuah pertentangan yang mana dibutuhkan 40 tahun untuk mengubah Arsitektur menjadi sekarang apa yang dikenal sebagai Arsitektur Modern.

2. PERIODE II (1930-1939).
Pada periode II perkembangan arsitektur modern sudah sampai di seluruh Eropa, Amerika dan Jepang, yg mana masing-masing daerah mempunyai perbedaan iklim, keadaan tanah, corak tradisi, yang bisa mempengaruhi apresiasi bentuknya. Perkembangan metode hubungan ruang, bentuk, bahan dan struktur tidak lagi bersifat universal, akan tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tempat dimana bangunan itu didirikan, mempunyai hubungan erat dengan spesivikasi kedaerahan dan keregionalan.

3. PERIODE III (1945 – 1958)

Perang Dunia II (1941 – 1945) menimbulkan kerusakan pada gedung-gedung dan rumah tinggal, menyebabkan faktor-faktor kebutuhan manusia akan rumah tinggal dan gedung-gedung menjadi latar belakang pada periode ini. karena kerusakan akibat perang tersebut perlu dibangun kembali , maka usaha untuk mempercepat pembangunan antara lain dengan fabrikasi komponen bangunan yang lebih ekonomis dan rasional sesuai dengan tujuan Revolusi Industri .

4. PERIODE III fase I (1949 – 1958).

Pada periode ini penyatuan antara karakter bangunan dengan fungsi, perancangan tidak hanya mempertimbangkan bagian dalamnya saja, tetapi juga hubungannya dengan keadaan lingkungan di mana bangunan tersebut akan berdiri (misalnya : iklim).

Bangunan yang ercipta mencerminkan suatu dialogi dengan teknologi, hal ini terlihat dari penggunaan produk baru, seperti; baja, alumunium, metal, beton pracetak.

5. PERIODE III fase II (1958 – 1966).

Setelah mengalami beberapa variasi sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan pandangan-pandangan pada fase I dan periode sebelumnya

Dalam Teknik Arsitektur, ada beberapa bidang keahlian yang ditawarkan. Bidang keahlian tersebut antara lain adalah :

1. Sains dan Teknologi Bangunan

2. Perancangan Arsitektur berbasis komputer

3. Lingkungan kota dan pemukiman

4. Analis Kritik dan Sejarah Arsitektur

Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan. Untuk itu, arsitektur adalah wujud kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Pada saat ini, ketika perkembangan budaya dan peradaban sudah sedemikian maju, maka perkembangan arsitektur – terutama di Indonesia – nampak berjalan mulus tanpa ada saringan yang cenderung menghilangkan jatidiri.

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR INDONESIA

Wujud arsitektur bukan merupakan hasil ‘seni yang bebas’ kehendaknya dan melukis untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, seni arsitektur merupakan ‘seni yang terikat’ oleh kaidah-kaidah tertentu sebagai seni terapan yang mampu dinikmati semua pihak, menjadi milik masyarakat, bangsa dan para pengamat yang berhak menikmati karya arsitektur setempat (bukan impor dari luar). Arsitektur mencoba berusaha untuk berada di tengah masyarakatnya, para pemakai dan pemerhati.

Banyak bangunan yang sebetul-nya gagal secara fungsional atau tidak sesuai dengan perilaku pemakai, namun tetap diciptakan dengan ‘keterpaksaan’ karena faktor-faktor lain yang sama sekali melupakan ‘jati diri’-nya. Latar belakang dalam melakukan aktifitas sosial budaya, dalam masyarakat tradisional Jawa misalnya, banyak belajar menyesuaikan diri dengan alam lingkungannya. Mereka memilih untuk berusaha hidup ‘selaras’ dengan alam, walaupun tidak merasa bahwa dirinya takluk kepada alam.

Bentukan arsitekturnya merupakan karya yang secara arif memanfaatkan potensi dan sumberdaya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara ‘jagad cilik’ (mikro kosmos) dengan‘jagad gede’ (makro kosmos).

Menurut Koentjaraningrat (1983) masyarakat Jawa merasa berkewajiban untuk ‘memayu-ayuning bawana’ yaitu pandangan hidup untuk selalu berupaya memperindah lingkungannnya, baik fisik maupun spiritual; menyangkut adat, tata cara, cita-cita ataupun nilai-nilai budaya lainnya. Dalam kaitannya dengan arsitektur, konsep ini mendasari pola keselarasan antara bangunan dengan lingkungannya termasuk juga dalam sistem ekologinya.

Ditilik dari kacamata arsitektur, Budiharjo (1997) menilai bahwa hal yang paling merisaukan dalam perancangan bangunan tinggi adalah penampilannya yang nyaris steril, serba polos, tunggal rupa serta tak menyisakan peluang bagi penghuni, pemilik maupun pengamatnya untuk berimajinasi. Tak heran jika pencakar langit seperti itu acap diejek sebagai salah satu bentuk pornografi arsitektural, tak menyimpan misteri, kurang menyentuh rasa, tak memperkaya jiwa dan vulgar. Bentuk bangunan dan kota yang cocok, tentunya muncul dan tumbuh dari dalam, dibuat untuk menanggapi keinginan, tuntutan dan dambaan manusia yang hidup dan bekerja di sana.

Pembahasan tentang perkembangan arsitektur tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan kebudayaan. Pembahasan perkembangan arsitektur modern, juga tidak dapat dilepas dari perkembangan teknologi serta perkembangan sosial ekonomi masyarakat penduduknya. Kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu.

Arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan juga senantiasa memperbaharui diri sesuai dengan perkembangan jaman. Perkembangan arsitektur dari waktu ke waktu merupakan cerminan dari budaya masyarakat dimana karya arsitektur tersebut berada. Menurut Atmadi (1997) perkembangan arsitektur di Indonesia sesudah kemerdekaan menunjukkan corak perkembangan tersendiri. Ungkapan arsitekturnya disesuaikan dengan tantangan, pengaruh perkembangan teknologi dan bahan bangunan yang ada.

Perkembangan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh perkembangan tata ruang atau tata masa massa bangunan saja, tetapi juga terpengaruh oleh nilai sosial dan budaya serta ekosistem yang berubah cepat. Namun, pada umumnya para Arsitek kurang memperhatikan pengembangan konsep perancangan dalam menyelesaikan suatu rancangan.

Pembaharuan konsep perancangan tidak berarti pembaharuan komponen bangunan yang ditunjukkan dengan mengambil komponen dari berbagai macam lapangan bangunan lain. Hal ini menjurus pada ungkapan ‘arsitektur eklektis’. Penggunaan tiang Yunani dan jendela Spanyol yang banyak bermunculan dan bertahan akhir-akhir ini merupakan petunjuk adanya perkembangan yang demikian itu. Keadaan semacam itu tentunya kurang menguntungkan bagi usaha mencari arsitektur berkepribadiaan Indonesia. Sebuah teguran dari Van Romond (1950) dalam pidato Ronald, mengatakan bahwa:

Para arsitek Indonesia hendaknya berani memutuskan diri untuk bertindak mundur sejenak, hinggamenemukan suatu perwujudan dalam bentuk yang paling sederhana dari bentuk bangunan di masa lampau. Sebab dengan melakukan tindakan ini berarti akan memperoleh kesempatan untuk memperbaharui gagasan-gagasan dan kemudian akan dapat menemukan kembali bentuk yang jauh lebih baik dan lebih khas.

Dengan perkataan lain, kalau ingin maju dengan pesat, hendaknya mau mundur barang selangkah sebagai awalan melakukan loncatan yang lebih jauh. Cepatnya pertumbuhan penduduk, kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta terbatasnya sumber daya alam mengharuskan para Perencana dan arsitek untuk segera menjawab tantangan tadi.

Perkembangan keanekaragaman kebutuhan fasilitas, masih adanya masalah kemiskinan serta distribusi yang belum sesuai, merupakan beberapa tantangan utama yang perlu diperhtikan para Arsitek Indonesia. Usaha perbaikan fasilitas umum dan permukiman pada dasarnya merupakan kegiatan yang strategis dalam pembangunan. Untuk itu, seyogyanya konsep perancangan bangunan serta perencanaan lingkungan dan wilayah mendapat perhatian khusus, agar pembangunan dapat mendukung pembinaan budaya dan peradaban bangsa.

Perkembangan arsitektur nampak berjalan begitu mulus tanpa ada penyaring sebagai akibat apa yang terjadi untuk sementara ‘dipersilakan masuk’, sehingga bisa dikatakan ada perubahan nilai untuk menghilangkan ‘jatidiri’-nya. Hal ini sebagai akibat proses modernisasi, yang bilamana tidak dikendalikan dengan baik, dapat menimbulkan ‘krisis identitas’. Krisis ini terjadi karena terganggunya keakraban manusia dengan ruang. Dengan demikian, walau ruang tidak mengalami perubahan, namun digunakan dengan fungsi yang sangat berbeda. Untuk itu, tata nilai yang berlaku akan mengalami perubahan dan menjadi sumber konflik antara yang lama dengan yang baru.

Timbul keprihatinan dalam diri beberapa pihak yang mempertanyakan apakah arsitektur seperti itu akan menjadi arah perkembangan arsitektur Indonesia. Prijotomo dalam bukunya Pasang Surut Arsitektur di Indonesia mempertanyakan: “Tahukah Anda bahwa kesemuanya itu telah dimiliki sejak 1970-an? Tapi kenapa perjalanan meng-Indonesia-kan arsitektur masih pusing tujuh keliling?”

Beberapa kemungkinan ini adalah jawaban dari pertanyaan tadi, yaitu:

Pertama, konon dikatakan oleh Arsitek bahwa pasaran arsitektur masih menggemari yang ‘barat’ ketimbang yang tradisional.

Kedua, lembaga pendidikan arsitektur belum melakukan penafsiran, karena belum mampu bicara soal ruang dan rupa arsitektur tradisional Indonesia. Arsitektur ini masih diletakkan dalam kerangka antropologis dan kebudayaan, belum diletakkan dalam kerangka arsitektur itu sendiri.

Ketiga, kurangnya gairah Arsitek profesional dan Pendidik untuk meletakkan arsitektur tradisional itu sebagai sumber praktek dan sumber pengajaran.

Keempat, ada pihak-pihak yang sengaja menyembunyikan pengetahuan dan kemampuannya dalam hal arsitektur tadi. Penggunaan apa yang dimilikinya oleh pihak lain demi pengembangan arsitektur tadi dicurigainya sebagai pengambil-alihan pengetahuan dan kemampuan.

Kelima, belum tumbuhnya sikap Arsitek Indonesia dalam melihat arsitektur modern itu sendiri. Tafsiran, alih ragam, modifikasi ataupun penyederhanaan haruslah menjadi bagian yang tak terpisah dari sebutan tradisional pada arsitektur daerah kita.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates